Sumber : Merdeka

New York, Harianmedia – Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2025 kembali menjadi sorotan dunia. Kali ini, perhatian publik tertuju pada pidato Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang menuai kontroversi dan bahkan memicu aksi walkout dari sejumlah delegasi negara anggota.

Pidato Netanyahu yang berlangsung pada 26 September 2025 di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, dianggap sarat dengan retorika konfrontatif. Ia menggunakan alat bantu visual berupa peta dan kartu bergambar yang ia tunjukkan langsung di hadapan peserta sidang. Netanyahu menyebut kelompok Iran, Hamas, Hezbollah, dan Houthi sebagai ancaman global dan menegaskan bahwa Israel akan “menuntaskan Gaza” meski dunia internasional memberikan kritik keras.

Penggunaan peta besar yang ditandai dengan klaim-klaim geopolitik Israel menjadi sorotan utama. Netanyahu tampak berusaha menunjukkan “peta kemenangan” yang menurutnya merepresentasikan posisi Israel dalam konflik kawasan. Namun, tak sedikit delegasi negara menilai cara tersebut provokatif, terlebih ketika ia menegaskan bahwa Israel tidak akan berhenti hingga “peperangan di Gaza diselesaikan sepenuhnya.”

Delegasi Walkout dari Ruang Sidang

Pidato tersebut sontak memicu reaksi keras. Beberapa perwakilan negara, termasuk dari kawasan Timur Tengah dan Afrika, memilih keluar dari ruang sidang sebagai bentuk protes. Aksi walkout itu menjadi sorotan kamera internasional dan dengan cepat menyebar ke berbagai platform media sosial.

Bagi sejumlah pihak, langkah walkout merupakan pernyataan simbolis bahwa pidato Netanyahu tidak sejalan dengan semangat perdamaian yang seharusnya dijunjung tinggi di forum PBB. Hal ini memperlihatkan bahwa komunitas internasional tidak sepenuhnya sepakat dengan narasi Israel yang disampaikan secara sepihak.

Indonesia Tetap Konsisten dengan Sikapnya

Di tengah kontroversi itu, Indonesia kembali menegaskan sikap konsisten terhadap isu Palestina. Menteri Luar Negeri Indonesia dalam pernyataan resminya menyebutkan bahwa Indonesia tidak akan mengubah posisinya. Indonesia hanya akan mempertimbangkan hubungan dengan Israel apabila Palestina sudah diakui sebagai negara berdaulat.

Pernyataan itu sejalan dengan pidato Presiden Prabowo Subianto di forum yang sama beberapa hari sebelumnya. Dalam pidatonya berjudul “Suara Indonesia di PBB, Prabowo Tegaskan Dukungan Solusi Dua Negara”, Presiden Prabowo menekankan bahwa Indonesia mendukung solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik Israel–Palestina.

Prabowo menegaskan bahwa dunia internasional harus menghormati keamanan Israel, namun pada saat yang sama juga menjamin hak-hak rakyat Palestina untuk merdeka dan berdaulat. Ia menyebut bahwa tidak mungkin ada perdamaian tanpa pengakuan yang adil atas eksistensi kedua bangsa tersebut.

“Indonesia akan selalu berdiri bersama Palestina dalam memperjuangkan hak-haknya, sekaligus mendorong komunitas internasional untuk menghormati dan menjamin keamanan Israel. Hanya dengan solusi dua negara, perdamaian sejati dapat tercapai,” ujar Prabowo di hadapan Sidang Umum PBB.

Kontras Dua Pidato di Panggung PBB

Perbandingan antara pidato Netanyahu dan pidato Prabowo memberi gambaran yang jelas mengenai dua pendekatan berbeda. Netanyahu memilih jalur konfrontatif dengan menekankan pada narasi militer dan ancaman, sedangkan Prabowo mengambil jalur diplomasi dengan menekankan pentingnya solusi politik yang adil bagi kedua belah pihak.

Reaksi publik pun beragam. Sebagian pihak menilai bahwa pidato Prabowo membawa angin segar karena menunjukkan posisi Indonesia yang tegas namun tetap konstruktif. Sementara itu, pidato Netanyahu justru dianggap memperkeruh suasana dan memperlebar jarak diplomatik dengan banyak negara.

Respon Dunia Internasional

Media internasional, termasuk The Guardian dan Associated Press, melaporkan bahwa pidato Netanyahu memicu kecaman luas. Banyak pihak menilai penggunaan alat peraga visual dalam forum sekelas PBB terkesan teatrikal dan lebih mementingkan pencitraan politik domestik daripada membangun konsensus global.

Sementara itu, pidato Prabowo mendapat sorotan positif. Media internasional mencatat bahwa Prabowo berani menyuarakan sikap seimbang: mendukung keamanan Israel, tetapi sekaligus menegaskan pengakuan terhadap Palestina. Posisi ini dianggap konsisten dengan konstitusi Indonesia yang menolak penjajahan dalam bentuk apa pun.

Pentingnya Diplomasi Indonesia

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki peran penting dalam percaturan diplomasi isu Palestina. Pidato Prabowo menjadi bukti bahwa Indonesia ingin mengambil peran sebagai jembatan perdamaian, meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel.

Konsistensi ini juga diperlihatkan dengan sikap Indonesia yang menolak normalisasi hubungan sebelum Palestina diakui. Hal ini memperkuat posisi Indonesia di mata negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sekaligus mempertegas komitmen Indonesia terhadap perdamaian global.

Dampak Politik Domestik

Di tingkat domestik, dua pidato yang berlawanan ini memunculkan diskusi hangat. Pidato Prabowo di PBB banyak mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia yang menilai sikap itu sesuai dengan amanat konstitusi.

Sebaliknya, pidato Netanyahu di PBB mendapat kritik dari kalangan aktivis HAM, akademisi, dan organisasi internasional. Banyak yang menilai Netanyahu gagal membaca suasana dunia yang semakin menginginkan penyelesaian damai, bukan retorika militeristik.

PBB Sebagai Panggung Diplomasi

Majelis Umum PBB memang sering menjadi panggung bagi para pemimpin dunia untuk menyampaikan posisi politiknya. Namun, setiap pidato juga akan selalu diingat dan dikritisi oleh publik internasional.

Kasus Netanyahu membuktikan bahwa pidato yang tidak mengedepankan perdamaian bisa berbalik menjadi bumerang diplomatik. Aksi walkout dari sejumlah negara adalah sinyal jelas bahwa dunia tidak sepakat dengan retorika penuh konfrontasi.

Sebaliknya, pidato Prabowo memperlihatkan bahwa suara Indonesia didengar dan diapresiasi. Posisi Indonesia yang mendorong solusi dua negara selaras dengan sikap mayoritas anggota PBB yang mendukung lahirnya negara Palestina.

Kontroversi pidato Netanyahu di PBB memperlihatkan betapa sensitifnya isu Israel–Palestina di mata dunia. Dengan gaya konfrontatif dan penggunaan peta sebagai alat peraga, Netanyahu menuai kritik hingga memicu walkout delegasi.

Di sisi lain, pidato Presiden Prabowo di forum yang sama menunjukkan kontras. Dengan judul “Suara Indonesia di PBB, Prabowo Tegaskan Dukungan Solusi Dua Negara”, Indonesia menegaskan komitmen terhadap perdamaian dan solusi politik.

Dua pidato yang berbeda ini menjadi refleksi bahwa jalan menuju perdamaian Timur Tengah masih panjang. Namun, sikap konsisten Indonesia memperlihatkan bahwa diplomasi yang berimbang tetap bisa menjadi harapan dunia.

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *