Harianmedia.com – Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Kabar duka menyelimuti dunia pesantren dan masyarakat Indonesia secara luas. Kiai muda kharismatik, KH. Alamudin Dimyati Rois—yang lebih dikenal dengan panggilan akrab Gus Alam—telah berpulang ke rahmatullah. Beliau meninggal dunia pada [tanggal wafat], di usia yang relatif muda, meninggalkan jejak perjuangan dakwah, pendidikan, dan politik yang membekas dalam sanubari umat.
Wafatnya Gus Alam membawa duka tidak hanya bagi keluarga besar Pondok Pesantren Al-Fadlu wal Fadilah di Semarang, Jawa Tengah, namun juga bagi masyarakat Nahdliyin dan umat Islam di seluruh Indonesia. Kepergian putra dari ulama sepuh KH. Dimyati Rois ini menjadi kehilangan besar dalam tradisi keilmuan dan kepemimpinan Islam yang moderat, teduh, serta membumi.
Profil Singkat: Gus Alamudin Dimyati Rois
KH. Alamudin Dimyati Rois merupakan putra dari KH. Dimyati Rois, salah satu ulama kharismatik yang juga dikenal sebagai Rais ‘Aam PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dan pengasuh pesantren Al-Fadlu wal Fadilah, Semarang. Dibesarkan dalam lingkungan pesantren yang kuat dengan tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah, Gus Alam tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, lembut, dan santun dalam berdakwah.
Selain dikenal sebagai pengasuh pesantren dan mubaligh yang aktif, Gus Alam juga pernah menjabat sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PKB. Kiprahnya di parlemen dikenal bersih, aspiratif, dan membawa nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam praktik politik.
Jejak Keilmuan dan Latar Belakang Pendidikan
Sejak kecil, Gus Alam telah digembleng dalam lingkungan pesantren oleh ayahandanya, KH. Dimyati Rois. Pendidikan agama menjadi fondasi utama dalam kehidupannya. Selepas mengenyam pendidikan dasar, beliau melanjutkan studi di berbagai pesantren ternama yang memiliki afiliasi kuat dengan tradisi Nahdlatul Ulama, termasuk belajar langsung kepada para kiai sepuh yang terkenal dengan keluasan ilmunya dan kedalaman spiritualitasnya.
Dalam salah satu wawancaranya beberapa tahun lalu, Gus Alam pernah menyebut bahwa ayahnya adalah guru utama dalam hidupnya. KH. Dimyati Rois bukan hanya memberikan ilmu, tapi juga mendidik dalam akhlak dan sikap hidup sebagai seorang alim yang tidak takabur dan selalu mendekatkan diri kepada umat.
Setelah menyelesaikan pendidikan formal di pesantren, Gus Alam melanjutkan studinya ke Timur Tengah, khususnya ke Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Di sana, beliau memperdalam studi Islam, terutama dalam bidang tafsir, fikih, dan ushuluddin. Pengalaman ini memperkaya wawasannya dan menjadikannya ulama yang mumpuni baik dalam ilmu tradisional maupun kontemporer.
Kiprah di Dunia Pesantren dan Dakwah
Sepulang dari Mesir, Gus Alam langsung aktif membantu ayahnya mengelola Pondok Pesantren Al-Fadlu wal Fadilah. Pesantren ini dikenal sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang konsisten mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah.
Di bawah bimbingan Gus Alam, pesantren ini mengalami pertumbuhan signifikan, tidak hanya dari sisi jumlah santri, tapi juga dalam kualitas kurikulum, jaringan keilmuan, serta pendekatan dakwah yang terbuka dan toleran. Gus Alam dikenal sering mengundang tokoh-tokoh lintas agama dan lintas budaya untuk berdiskusi di lingkungan pesantren.
Sebagai dai, beliau aktif ceramah di berbagai daerah. Pendekatannya dalam berdakwah sangat khas: lembut, tenang, tapi menyentuh. Beliau tidak menyukai cara-cara keras dan memecah belah. Bagi Gus Alam, Islam adalah agama kasih sayang yang harus disampaikan dengan cinta dan teladan.
Karier Politik dan Komitmen Kebangsaan
Selain menjadi pengasuh pesantren, Gus Alam juga aktif dalam dunia politik. Beliau menjabat sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Di parlemen, ia dikenal sebagai sosok yang aktif dalam pembahasan kebijakan terkait pendidikan, keagamaan, dan sosial kemasyarakatan.
Di tengah sorotan publik terhadap perilaku anggota legislatif, Gus Alam menjadi oase. Beliau menolak gaya hidup glamor dan lebih memilih hidup sederhana sebagaimana layaknya seorang santri. Ia tidak segan tidur di rumah-rumah warga saat kunjungan kerja dan selalu menyempatkan diri berdialog dengan masyarakat akar rumput.
Keterlibatannya dalam politik bukan sekadar ambisi kekuasaan, tetapi lebih sebagai amanat dakwah dan pengabdian untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial, pendidikan, dan perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Kedekatan dengan Santri dan Rakyat Kecil
Salah satu sisi paling menyentuh dari kepribadian Gus Alam adalah kedekatannya dengan santri dan masyarakat kecil. Beliau tidak pernah membedakan status sosial seseorang. Dalam banyak momen, Gus Alam sering terlihat bercanda dengan para santri, ikut makan di dapur umum saat kegiatan pesantren, dan bahkan membantu para petani menanam di sawah saat pulang kampung.
Gaya hidup sederhana itu bukan pencitraan, melainkan bagian dari nilai yang tertanam sejak kecil. Dalam pengajiannya, Gus Alam kerap mengingatkan bahwa seorang kiai atau ulama harus dekat dengan rakyat dan menjadi pelayan umat, bukan malah minta dilayani.
Kabar Duka dan Reaksi Umat
Kabar wafatnya Gus Alamudin Dimyati Rois pertama kali beredar melalui media sosial dan grup-grup pesantren. Ucapan duka mengalir deras, dari para kiai, tokoh nasional, politisi, sampai masyarakat biasa. Sebagian besar dari mereka tidak percaya bahwa sosok sebaik dan sebijaksana Gus Alam telah berpulang.
Di antara yang pertama mengonfirmasi kabar duka ini adalah PBNU. Dalam pernyataannya, PBNU menyebut wafatnya Gus Alam sebagai kehilangan besar bagi umat Islam Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. “Gus Alam bukan hanya penerus ulama besar, tapi juga simbol kesederhanaan dan keistiqamahan dakwah,” demikian bunyi rilis resmi dari PBNU.
Presiden Joko Widodo melalui akun resminya juga menyampaikan belasungkawa yang mendalam. Beliau menyebut Gus Alam sebagai tokoh muda yang menjembatani umat dan negara, serta berperan penting dalam merawat harmoni bangsa.
Prosesi Pemakaman yang Mengharukan
Jenazah Gus Alam dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di lingkungan Pondok Pesantren Al-Fadlu wal Fadilah. Ribuan pelayat dari berbagai penjuru datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Sejak pagi hari, iring-iringan kendaraan memadati akses menuju pesantren.
Shalat jenazah dilaksanakan beberapa kali, karena banyaknya pelayat yang ingin ikut menyolatkan. Tangis pecah saat jenazah dibawa ke liang lahat. Para santri, sahabat, dan masyarakat sekitar tampak larut dalam kesedihan yang dalam.
Di antara yang hadir dalam pemakaman adalah sejumlah tokoh nasional, termasuk Menteri Agama, para anggota DPR RI, serta para kiai besar dari berbagai pesantren di Pulau Jawa. Kehadiran mereka menjadi bukti betapa besar pengaruh dan cinta yang ditinggalkan oleh almarhum.
Pesan-Pesan Terakhir dan Warisan Spiritualitas
Dalam beberapa bulan terakhir sebelum wafat, Gus Alam sempat menyampaikan pesan-pesan spiritual yang kini menjadi sangat relevan. Dalam salah satu ceramahnya, ia berkata:
“Kita hidup tidak lama, maka pastikan bahwa setiap hari kita tidak hanya memperbaiki diri, tapi juga membawa manfaat bagi orang lain. Jangan tinggalkan dunia ini tanpa bekas kebaikan.”
Pesan itu kini menyebar luas dan viral di media sosial. Banyak yang merasa bahwa Gus Alam telah berpamitan secara halus jauh sebelum ajal menjemput. Sikap tenangnya dalam menghadapi sakit, dan cara beliau menyiapkan regenerasi pesantren menjadi bukti bahwa beliau memang telah siap kembali kepada Sang Pencipta.
Warisan spiritualnya tidak hanya berupa kitab dan ceramah, tetapi juga keteladanan hidup. Santri-santrinya menyebut bahwa Gus Alam adalah guru yang bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga hidup di dalam ilmu itu sendiri.
Pandangan Ulama dan Tokoh Nasional
KH. Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, menyebut Gus Alam sebagai “simpul persatuan generasi muda NU yang mencintai tradisi sekaligus terbuka terhadap perubahan.” Ia menambahkan bahwa Gus Alam adalah contoh ulama muda yang ideal: punya ilmu, akhlak, dan kepedulian sosial.
Sementara itu, tokoh Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, juga menyampaikan duka dan menyebut bahwa meskipun berbeda organisasi, Gus Alam adalah sosok yang mampu membangun jembatan ukhuwah Islamiyah. “Beliau membawa pesan persatuan di tengah dinamika umat,” kata Haedar.
Duka dari Santri dan Masyarakat Awam
Cerita-cerita duka datang dari banyak pihak. Seorang santri asal Brebes, Ahmad Zaini, menuturkan bahwa Gus Alam adalah satu-satunya kiai yang rela menyetir sendiri untuk mengantar santrinya yang sakit ke rumah sakit. “Kami kehilangan bapak sekaligus guru,” katanya.
Seorang ibu rumah tangga di Demak, Nyai Rofi’ah, mengaku belum pernah bertemu langsung dengan Gus Alam, tapi selalu mengikuti ceramahnya di YouTube. “Ceramah beliau menenangkan. Saya merasa dia seperti keluarga. Saya menangis seperti kehilangan anak saya sendiri,” ujarnya sambil terisak.
Melanjutkan Warisan: Tugas Generasi Penerus
Kepergian Gus Alam menyisakan pekerjaan besar. Para santri dan keluarga pesantren kini dihadapkan pada tugas menjaga warisan keilmuan dan semangat perjuangan beliau. Adik-adik beliau, termasuk para kiai muda di lingkungan pesantren, telah menyatakan komitmennya untuk terus melanjutkan misi dakwah dan pendidikan yang dirintis Gus Alam.
Banyak pihak berharap agar warisan beliau tidak berhenti pada institusi pesantren semata, tapi juga menjadi inspirasi bagi gerakan kebangsaan dan keislaman yang lebih luas. Gus Alam telah memberi contoh bahwa ulama tidak boleh hanya berada di mimbar, tapi juga turun ke lapangan—mengayomi rakyat, meluruskan arah bangsa, dan menjadi penerang di tengah gelapnya zaman.
Gus Alam dan Spirit Keabadian
Dalam budaya pesantren, ada ungkapan: “Orang alim tidak pernah mati. Ia hanya berpindah dari alam dunia ke alam keabadian.” Ungkapan itu tampaknya tepat untuk menggambarkan sosok Gus Alam. Meski jasadnya telah tiada, ilmunya akan terus hidup. Teladan hidupnya akan tetap menyala di hati para santri, umat, dan seluruh rakyat Indonesia yang pernah merasakan manfaat dari kiprahnya.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Selamat jalan, Gus Alam. Engkau telah menunaikan tugasmu. Biarkan kami melanjutkan jalan yang telah engkau tapaki dengan penuh cinta, ilmu, dan keteladanan.
( Harianmedia.com/ Siregar )