Banten, Harianmedia — Sebuah video yang merekam puluhan siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengenakan seragam merah-putih maupun putih-biru berjalan menyeberangi sungai berarus deras di Kampung Cegog, Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten, tengah viral di media sosial. Aksi ini terjadi karena jembatan penghubung ke sekolah mereka belum rampung dibangun, memaksa mereka menggunakan metode berisiko untuk pergi dan pulang sekolah.
Rute Menuju Sekolah Kini Harus Lewati Sungai
Pagi itu, suasana di Kampung Cegog tak seperti biasanya. Alun-alun sungai menjadi rute improvisasi bagi siswa yang biasa melintasi jembatan. “Kami harus menyeberang sungai karena jembatan yang biasanya dilewati sudah tidak bisa digunakan,” ujar seorang guru sambil menunjuk arus sungai yang mengalir deras.
Berdasarkan liputan lapangan, para siswa menggandeng tali tambang dan dibantu warga setempat untuk menyebrangi sungai dengan langkah hati-hati, sebab kondisi jembatan pengganti belum terpasang.
Situasi ini memunculkan kekhawatiran akan keselamatan, apalagi bagi murid yang memegang buku, tas, dan seragam sekolah ketika melintasi arus sungai.
Penyebab Tertundanya Pembangunan Jembatan
Menurut penjelasan dari pihak Pemerintah Provinsi Banten (Pemprov Banten), pembangunan jembatan di lokasi tersebut sudah dimulai pada Juni 2025 sebagai bagian dari program peningkatan infrastruktur di wilayah Kabupaten Pandeglang.
Namun, berbagai faktor menyebabkan proyek belum rampung: antara lain intensitas hujan tinggi yang menghambat pengecoran akhir, akses ke lokasi yang sulit, dan kebutuhan penyesuaian desain demi mengantisipasi keselamatan pengguna jembatan. Pada hari 24 Oktober, Pemprov menyatakan progres pembangunan sudah mencapai sekitar 90 %.
Meski demikian, jembatan tersebut belum dapat digunakan oleh masyarakat — terutama siswa yang sehari-hari bersekolah.
Reaksi Pemerintah dan Tindakan Darurat
Viralnya video menjadi pemicu respons cepat dari Pemprov Banten. Wakil Gubernur Achmad Dimyati Natakusumah menegaskan bahwa keselamatan anak sekolah adalah prioritas, dan bahwa jembatan yang putus bisa berarti “putus harapan, putus kesempatan” bagi anak-anak.
Dalam pernyataannya, ia juga memerintahkan dinas terkait untuk meninjau lokasi dan mempertimbangkan solusi sementara — seperti pembuatan jembatan gantung sementara atau jalur penyeberangan aman.
Selain itu, Pemprov berencana memasukkan penanganan jembatan ini ke dalam prioritas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2026 atau bahkan lebih awal jika memungkinkan.
Dampak Terhadap Pendidikan dan Aktivitas Siswa
Bagi murid-murid SD dan SMP di Kampung Cegog, menyeberangi sungai bukan hanya sekedar rute baru—melainkan tantangan harian yang membawa risiko. Guru dan orang tua murid menyampaikan bahwa begitu perlahan arus sungai membesar, anak-anak harus berhenti sejenak dan menunggu udara sedikit reda sebelum menyeberang.
Beberapa siswa mengaku rasa takut ketika air naik atau tali penyeberang sedikit bergoyang. Orang tua pun khawatir potensi kecelakaan — dari terpeleset hingga terseret arus — lebih tinggi. Meskipun begitu, semangat mereka untuk tetap mengikuti kegiatan sekolah tetap tinggi.
Di sisi lain, guru-guru mencoba menyesuaikan metode pembelajaran. Beberapa alternatif seperti pengaturan jam sekolah lebih awal atau diselingi pembelajaran daring sempat dibahas. Namun, akses listrik dan jaringan internet di beberapa rumah di kampung tersebut tidak selalu mendukung.
Sehingga, solusi terbaik masih dianggap sebatas memfasilitasi siswa menyeberangi sungai dengan aman hingga jembatan selesai dibangun.
Waktu Penyelesaian dan Harapan Warga
Pemprov menargetkan jembatan selesai pada November 2025, setelah pengecoran akhir dilakukan paling lambat akhir bulan ini, apabila cuaca dan logistik mendukung.
Warga kampung pun berharap agar tak ada lagi adegan siswa menyeberangi sungai dengan tali tambang — sebuah gambaran yang membuat prihatin banyak pihak. “Kami ingin anak-anak kami pulang sekolah dengan selamat, tidak harus memegang tali dan takut kapan arus sungai naik,” kata Kepala Desa Rancapinang.
Orang tua siswa juga menyambut baik rencana pemerintahan setempat dan berharap agar pengerjaan memang benar-benar dipercepat. Mereka siap membantu dengan menyerahkan lahan akses tambahan dan menjaga lingkungan sekitar proyek agar lancar.
Kasus di Kampung Cegog memberi pelajaran penting bahwa pembangunan infrastruktur dasar seperti jembatan sangat terkait erat dengan hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan tanpa hambatan akses fisik atau keselamatan.
Meski kondisi ekstrem seperti banjir atau arus sungai membesar sulit diprediksi, koordinasi antara pemerintah provinsi, kabupaten, dan masyarakat menjadi kunci agar proyek dapat selesai tepat waktu dan tetap berfungsi dengan baik.
Perlu pula pengawasan ketat agar pengerjaan tidak terganggu oleh cuaca atau logistik, serta plan B untuk rute sementara yang aman jika rute utama belum bisa dilewati.
Video viral yang memperlihatkan siswa menyeberangi sungai deras di Kampung Cegog, Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Pandeglang, membuka mata banyak pihak bahwa jembatan penghubung yang belum selesai dibangun telah mengganggu rutinitas belajar anak-anak dan menimbulkan potensi bahaya.
Pemerintah Provinsi Banten telah merespon dengan prioritas penanganan, namun hingga pagi hari, 25 Oktober 2025, situasi bagi siswa masih memerlukan waspada: jembatan belum bisa digunakan, dan mereka masih melintasi sungai. Target penyelesaian diberi bulan November 2025, dengan harapan akses ke sekolah bisa kembali aman dan mudah.
Hingga saat itu, solusi sementara serta pengawasan dari semua pihak sangat dibutuhkan agar proses belajar mengajar tetap berjalan tanpa mengorbankan keselamatan anak-anak.

