Penulis: Ahmad Kurniawan Sandi
Konflik internal antara kepala daerah dan wakilnya bukan hal baru dalam politik lokal Indonesia. Namun, kasus Jember memperlihatkan eskalasi konflik serius yang tidak biasa. Wabup melaporkan Bupati ke KPK, menandakan ketegangan politik semakin dalam. Karena itu, situasi ini mencerminkan masalah struktural dalam relasi kekuasaan daerah. Jika dibiarkan, citra kepemimpinan semakin merosot di mata publik. Selain itu, agenda pembangunan daerah juga bisa sangat terhambat. Oleh karena itu, penting menelaah konflik menggunakan teori politik. Dengan demikian, solusi yang ditawarkan lebih komprehensif dan berkelanjutan.
Konflik Kekuasaan dan Dampaknya bagi Publik
Konflik Wabup Djoko Susanto dengan Bupati Muhammad Fawait menjadi perhatian publik luas. Sementara itu, Djoko melaporkan Bupati ke KPK karena merasa diabaikan dalam agenda penting. Persoalan itu memperlihatkan ketegangan pribadi sekaligus lemahnya tata kelola kelembagaan daerah. Akibatnya, publik khawatir kualitas pelayanan pemerintahan semakin menurun. Dalam teori elit, konflik ini menggambarkan perebutan ruang kekuasaan pemerintahan daerah. Kepala daerah sering menguasai kendali utama, sementara wakil hanya simbolis. Karena itu, distribusi peran timpang menjadi sumber gesekan. Akibatnya, harmoni pemerintahan lokal semakin sulit tercapai.
Teori konflik politik menjelaskan ketegangan melalui distribusi sumber daya yang tidak adil. Wabup menilai dirinya terpinggirkan, sementara Bupati memegang kendali penuh birokrasi. Oleh sebab itu, situasi menimbulkan ketidakpercayaan yang semakin mendalam. Jika berlarut, konflik menghambat efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Dampak terbesar selalu dirasakan masyarakat di tingkat bawah. Koordinasi antarorganisasi perangkat daerah akhirnya tersendat dan lambat. Selain itu, pelayanan publik tidak berjalan secara optimal. Rakyat Jember jelas membutuhkan pemimpin yang bekerja sama, bukan pemimpin yang terus berseteru.
Konflik elite politik selalu berakhir dengan rakyat sebagai korban utama. Karena itu, penyelesaian konflik tidak boleh ditunda lagi. Dalam konteks teori kelembagaan, penyelesaian harus dilakukan melalui rekonsiliasi. Stabilitas politik lokal hanya tercapai bila konsensus antar-elite terbentuk. Tanpa konsensus, pemerintahan daerah berjalan timpang penuh resistensi. Selain itu, dominasi sepihak tidak bisa menjadi pola kerja berkelanjutan. Oleh sebab itu, kesepakatan antara Bupati dan Wakil mutlak diperlukan. Dengan demikian, agenda pembangunan kembali berjalan sesuai kebutuhan rakyat.
Rekonsiliasi Sebagai Jalan Menuju Stabilitas
Dalam teori konsensus, stabilitas politik hanya bisa terjaga dengan kesepakatan pemimpin daerah. Konsensus menjadi landasan agar kebijakan diterima publik. Tanpa konsensus, pemerintahan daerah akan timpang dan penuh konflik. Oleh sebab itu, dominasi sepihak jelas bukan solusi kerja berkelanjutan. Kesepakatan minimal antara Bupati dan Wabup menjadi syarat utama. Rekonsiliasi adalah strategi realistis mengatasi kebuntuan politik Jember. Rekonsiliasi bukan kelemahan, melainkan jalan pragmatis mengembalikan fokus pembangunan. Dengan demikian, rekonsiliasi menjadi kebutuhan mendesak.
Agar rekonsiliasi berhasil, dibutuhkan komitmen nyata dari kedua elite politik. Komitmen itu mencakup pembagian peran jelas dalam pemerintahan. Selain itu, transparansi pengambilan keputusan harus dikedepankan. Keterlibatan wakil dalam agenda strategis wajib dijalankan konsisten. Partai politik pengusung sebaiknya ikut turun tangan sebagai mediator. Oleh karena itu, rekonsiliasi memperoleh dasar politik yang lebih kuat. Dengan demikian, pemerintahan berjalan lebih stabil dan efektif. Akhirnya, kepercayaan publik pun bisa kembali tumbuh.
Selain elite, masyarakat juga harus dilibatkan dalam rekonsiliasi. Publik perlu mengetahui hasil kesepakatan politik agar percaya. Transparansi menjadi kunci mencegah kecurigaan publik terhadap elite. Oleh sebab itu, legitimasi pemerintahan dapat lebih terjaga. Dengan melibatkan masyarakat, rekonsiliasi tidak hanya urusan elite. Proses ini juga menjadi pemulihan hubungan pemerintah dan rakyat. Selain itu, rekonsiliasi memperkuat demokrasi lokal di Jember. Dengan demikian, stabilitas politik tercapai lebih kokoh.
Akhirnya, konflik antara Bupati dan Wakil hanya dapat diselesaikan rekonsiliasi. Pemerintahan daerah tidak efektif bila pucuk pimpinan terus berseteru. Oleh karena itu, kepentingan publik harus ditempatkan di atas ego. Rekonsiliasi yang tulus dapat memulihkan kepercayaan masyarakat Jember. Selain itu, konsistensi elite menjaga energi politik untuk pembangunan. Dengan demikian, rakyat tidak lagi menjadi korban konflik elite. Jember jelas membutuhkan pemimpin bersatu dan visioner. Akhirnya, harmoni politik dapat mengembalikan arah pembangunan daerah.
Ahmad Kurniawan Sandi, Pemerhati Jember (Aktivis Sayap Kiri Moderat)
Editor: Agung Febriansyah
Harian Media “Portal Media Informasi Terpercaya”